PROSES PEMERIKSAAN ABITRASE

PROSES PEMERIKSAAN ABITRASE 

A.                PEMERIKSAAN DENGAN PINTU TERTUTUP
Dalam proses pemeriksaan sidang arbitrase. Asas pemeriksaannya dilakukan secara “tertutup” dalam setiap tahap. Mulai dari pemeriksaan statement of claim, statement of defence, dokumen, saksi dan ahli maupun oral hearing dengan para pihak. Begitu juga pemeriksaan setempat, semua dilakukan dengan pintu tertutup[1].
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 untuk melakukan pemeriksaan perkara yang bersengketa dilakukan secara tertutup dan menggunakan bahasa Indonesia. Setiap pihak yang berselisih mempunyai hak yang sama dalam mengemukakan pendapat masing-masing. Baik secara langsung maupun diwakili oleh hukumnya.
Pada Pasal 27 dan Pasal 28 disebutkan bahwa :
“semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup.”
“bahasa yang digunakan dalam semua proses arbitrase adalah bahasa Indonesia, kecuali atas dasar persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak yang bersengketa dapat memilih bahasa lain yang akan digunakan.[2]
Namun asas pemeriksaan ini tidak bersifat mutlak secara permanen. Asas ini dapat dikesampingkan atas persetujuan atau izin para pihak. Buktinya dapat ditarik secara analogis dari ketentuan Pasal 48 ayat (5) ICSID yang berbunyi “The Centre shall not publish the award without the consent of the parties.” Putusan tidak boleh dipublikasi oleh Centre tanpa persetujuan para pihak. Memang ketentuan ini ditujukan terhadap putusan, dan tidak disinggung tentang kebolehan mempublikasi proses pemeriksaan. Akan tetapi kalau putusan boleh dipublikasi, asal atas persetujuan para pihak, hal itu memberi isyarat akan kebolehan mengadakan pemeriksaan sidang secara terbuka untuk umum, asal para pihak menyetujui. Bukankah motivasi pemeriksaan dilakukan dengan pintu tertutup dalam proses pemeriksaan arbitrase bersifat “konfidensial” agar nama baik para pihak dikalangan masyarakat bisnis dapat terjamin kerahasiaannya? Jika para pihak tidak keberatan, dan setuju pemeriksaan dilakukan terbuka untuk umum, berarti mereka tidak mempedulikan tercemar atau tidak nama baik mereka.
Walaupun secara analogis dibolehkan pemeriksaan terbuka untuk umum asal atas persetujuan kedua belah pihak, prinsip pemeriksaan dengan pintu tertutup, tampaknya bersifat “imperatif”. Prinsip tersebut tidak boleh dilanggar, akibatnya bisa fatal. Berakibat pemeriksaan dan putusan batal demi hukum atau null and void, sehingga sengketa harus diperiksa ulang kembali dengan pintu tertutup. Sudah barang tentu hal yang seperti ini sangat merugikan kepentingan para pihak. Nama baik mereka sudah sempat tercemar, proses pemeriksaan pun harus diulang kembali sejak dari semula. Cuma akibat yang seperti ini barangkali dapat diatasi dengan meminta persetujuan dari kedua belah pihak. Atau sekiranya pemeriksaan dilakukan terbuka untuk umum, namun para pihak diam, tidak mengajukan keberatan, hal itu dapat ditafsir sebagai persetujuan secara diam-diam. Namun jika salah satu pihak saja mengajukan keberatan, tetap mengakibatkan pemeriksaan dan putusan batal demi hukum[3].
Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majeli terbentuk. Arbiter atau majelis arbitrase berwenang untuk memperpanjang jangka waktu tugasnya, sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, apabila :
1.      Diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus;
2.      Sebagai akibat ditetapkannya putusan provisional atau putusan sela lainnya;
3.      Dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan pemeriksaan.
Pada pasal 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, pihak ketiga diluar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Hal ini dapat dilakukan apabila pihak ketiga tersebut mempunyai unsur kepentingan berkait, dengan syarat :
1.      Keturutsertaan pihak ketiga disepakati oleh para pihak;
2.      Disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa.
Dalam suatu perjanjian para pihak secara tegas dan tertulis bebas menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Selain itu, harus ada kesepakatan mengenai jangka waktu dan tetap diselenggarakannya arbitrase. Apabila jangka waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan. Demikian juga Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 memberikan sarana hukum atas permohonan salah satu pihak kepada arbiter atau majelis arbitrase untuk dapat mengambil putusan provisional atau putusan sela lainnya dalam mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa, termasuk antar lain :
1.      Penetapan sita jaminan;
2.      Memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga; atau
3.      Menjual barang yang mudah rusak[4]

B.                 TAHAP PROSES PEMERIKSAAN SENGKETA
Jika dicermati rules baik yang diatur dari berbagai konvensi dan perundang-undangan, proses pemeriksaan Mahkamah Arbitrase, hampir tidak berbeda dengan tata cara pemeriksaan didepan sidang pengadilan, meskipun disana sini ada perbedaan. Dalam uraian berikut akan dicoba memberi penjelasan yang bersifat reguler tata cara pemeriksaan arbitrase berdasar penggarisan umum tanpa mengabaikan variasi yang terdapat antara saru rules dengan rules yang lain.

1.                  Pemeriksaan tentang Yuridiksi
Tahap pemeriksaan yang pertama diteliti Mahkamah Arbitrase mengenai yurisdiksi (jurisdiction) atau kompetensi. Tentang masalah pemeriksaan yurisdiksi sudah pernah disinggung. Secar umum dapat dikatakan pemeriksaan tentang berwenang atau tidak Mahkamah Arbitrase yang bersangkutan memeriksa sengketa dapat dilakukan secara ex officio. Ada atau tidak eksepsi (objection) tentang itu, mahkamah harus menyatakan diri tidak berwenang memeriksa apabila sengketa berada di luar yurisdiksinya, berdasar alasan :
i. keabsahan klausula arbitrase, atau
ii. dari keabsahan perjanjian pokonya sendiri
2.                  Pemeriksaan Perlawanan Terhadap Arbiter
Perlawanan terhadap arbiter yang telah ditunjuk dibolehkan. Alasan perlawanan apabila setelah penunjukan, diketahui atau didengar arbiter bersikap memihak dalam menjalankan fungsi menyelesaikan sengketa.
Berbicara mengenai perlawanan terhadap arbiter, dapat dilakukan pada tahap sebelum proses pemeriksaan sengketa. Pada tahap proses penunjukan baik sebelum arbiter menerima penunjukan maupun sesudah menerima, dapat dilakukan perlawanan. Selain daripada itu perlawanan dapat juga dilakukan setelah tahap pemeriksaan sengketa.
3.                  Memerintahkan Para Pihak Hadir
Setelah Mahkamah Arbitrase menerima statement of defence (jawaban yang berisi tanggapan terhadap gugatan) dari pihak respondent (orang yang dituntut atau tergugat) tiba saatnya proses pemeriksaan para pihak di muka sidang arbitrase. Demikian penggarisan menurut ketentuan Pasal 7 ayat (2) Peraturan Prosedur BANI. Penentuan hari sidang paling lambat 14 hari dari tanggal pengeluaran surat perintah sidang. Dalam hal ini surat perintah sidang sekaligus merupakan panggilan pemeriksaan sidang pertama kepada para pihak.
4.                  Salah Satu Pihak Tidak Hadir
Pengaturan tentang hal ini pun terdapat perbedaan penggarisan di antara berbagai rules. Pertama-tama dibicarakan apa yang diatur dalam Peraturan Prosedur BANI. Hal ini diatur dalam pasal 10, 11, 12.
a.                  Pihak Claimant (seorang yang membuat tuntutan atau penggugat) Tidak Hadir
Membicarakan masalah ketidakhadiran yang diatur Pasal 10, tidak terlepas kaitan sistemnya dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 8. Seperti yang sudah digariskan pasal-pasal tersebut, apabila telah diterima statement of defence dari respondent atau apabila respondent tidak menyampaikan statement of defence dalam jangka waktu 30 hari dari tanggal penerimaan statement of claim (isi gugatan), majelis harus menetapkan hari sidang pemeriksaan dan memerintahkan para pihak untuk datang menghadap. Apabila ternyata pihak claimant tidak datang menghadap pada pemeriksaan sidang tanpa alasan yang sah, padahal dia sudah dipanggil dengan resmi dan patut, permohonan arbitrase “akan digugurkan”. Demikian risiko yang diancamkan kepada pihak claimant apabila enggan menghadiri pemeriksaan sidang pertama. Ketentuan dan risiko yang digariskan Pasal 10 ini sama dengan yang digariskan Pasal 124 HIR di muka forum pemeriksaan sidang pengadilan.
b.                  Pihak Respondent tidak hadir
Menurut pasal 11, jika pihak respondent tidak hadir pada pemeriksaan sidang pertama setelah ia dipanggil dengan sah dan patut, Ketua BANI memerintahkan supaya ia dipanggil sekali lagi untuk hadir pada hari sidang yang ditentukan, selambat-lambatnya 14 hari dari tanggal perintah dikeluarkan. Apabila pada hari itu respondent tetap juga tidak hadir, Pasal 12 menyatakan, pemeriksaan akan terus dilangsungkan tanpa hadirnya respondent dengan syarat dan ketentuan :
·         Panggilan sudah dilakukan secara resmi dan patut,
·         Respondent tidak hadir tanpa alasan yang sah (default without reason),
·         Majelis dapat menjatuhkan putusan verstek
·         Kecuali jika tuntutan tidak berdasarkan hukum dan keadilan
Majelis arbitrase menurut Peraturan Prosedur BANI, dapat menjatuhkan putusan verstek apabila pemeriksaan sidang yang pertama dan berikutnya respondent tetap tidak hadir tanpa alasan yang sah sekalipun telah dipanggil secara resmi dan patut.



5.                  Mahkamah Mengusahakan Perdamaian
Dibawah ini akan dijelaskan usaha Mahkamah Arbitrase dalam mendamaikan kedua belah pihak ditinjau dari Peraturan Prosedur BANI, ICSID, dan UNCITRAL Arbitration Rules.
a.                  Usaha mendamaikan versi BANI
Usaha mendamaikan, dilakukan pada tahap proses pemeriksaan sidang pertama dimana para pihak lengkap hadir. Jika para pihak ada yang tidak hadir, sidang harus diundur dan memerintahkan untuk dipanggil kembali pada hari sidang berikutnya. Apabila pada sidang berikut, kedua belah pihak sama-sama hadir, barulah dibenarkan untuk mengusahakan perdamaian. Usaha perdamaian dilakukan dengan cara melakukan pendekatan dari berbagai segi tanpa mengabaikan perhitungan jangka waktu penyelesaian sengketa yang ditentukan. Jika jangka waktu penyelesaian yang diberikan kepada majelis hanya 6 bulan, usaha mendamaikan harus diperkirakan dengan cermat, agar jangan sampai berlarut-larut.
Disamping perlunya pendekatan dari berbagai segi, majelis dapat memberi saran. juga dapat memberi bantuan untuk menyusun perumusan perdamaian. Majelis harus menjauhkan diri dari cara-cara pemaksaan.
Jika majelis berhasil mengusahakan perdamaian, dan para pihak telah menyusun rumusan isi perdamaian yang mereka sepakati, isi perdamaian dituangkan majelis dalam bentuk akta yang disebut “putusan akta perdamaian”.
Putusan akta perdamaian arbitrase sama halnya dengan apa yang berlaku dalam praktek pengadilan. Dengan demikian akta perdamaian bersifat final. Tidak dapat dibanding dan kasasi, serta sekaligus memiliki daya kekuatan mengikat kepada para pihak. Berbarengan dengan itu, pada akta perdamaian dengan sendirinya melekat kekuatan eksekutorial. Pemenuhannya dapat dipaksakan melalui eksekusi oleh pengadilan apabila pihak tereksekusi tidak mau memenuhi secara sukarela.  
b.                  Usaha Perdamaian Versri ICSID
Jika pada BANI upaya mendamaikan langsung ditangani oleh Majelis Arbiter dalam proses pemeriksaan pada sidang pertama, upaya mendamaikan menurut ketentuan ICSID, sengaja dilembagakan yang diberi nama The Conciliation Commission yang disingkat dengan sebutan “Commission”. Badan ini diatur dalam Pasal 29, dan berada di bawah pengawasan The Administrative Council yang diketuai oleh Presiden Bank Dunia. Badan komisi pendamai, merupakan salah satu lembaga yang ada di bawah ICSID di samping badan arbitrase atau Mahkamah Arbitrase (The Arbitral Tribunal) yang disingkat dengan sebutan “Tribunal”. Jadi, ICSID yang selalu disingkat dengan Centre mempunyai dua lembaga atau institusi yang terdiri dari The Conciliation Commission yang disingkat dengan “Commission” yang mempunyai kewenangan khusus untuk menyelesaikan persengketaan melalui jalan damai. Yang kedua ialah The Arbitral Tribunal yang disingkat dengan “Tribunal” yang khusus berwenang menyelesaikan persengketaan dengan putusan arbitrase.
Anggota yang duduk dalam komisi perdamaian (Commission) disebut “konsiliator” (conciliator). Sedang anggota yang duduk dalam Mahkamah Arbitrase (Arbitral Tribunal) disebut “arbiter” atau “arbitrator”.
c.                   Usaha Damai Versi UNCITRAL
Bagaimana masalah usaha mendamaikan dalam UNCITRAL Arbitration Rules ? Hampir sama dengan yang diatur dalam ICSID. Tetapi lebih mirip dengan yang digariskan Pasal 13 Peraturan Prosedur BANI. Didalam UNCITRAL upaya mendamaikan tidak dilakukan oleh suatu badan rekonsiliasi khusus seperti The Conciliation Commission yang dilembagakan dalam ICSID. Kewenangan upaya dan penyelesaian perdamaian langsung menjadi fungsi Mahkamah Arbitrase. Cuma disini, upaya penyelesaian berdasarkan persetujuan kedua belah pihak, tidak mempergunakan istilah konsiliasi (conciliation). Tapi dipergunakan istilah “settlement”. Ditinjau dari segi makna dan tujuan, hampir tidak ada perbedaan antara keduanya. Baik conciliation maupun settlement sama-sama mengandung pengakhiran persengketaan melalui persetujuan bersama diantara pihak yang bersengketa. Sekali mereka telah menyetujui penyelesaian atas dasar kesepakatan, persetujuan mengikat dan harus ditaati para pihak serta sekaligus mengakhiri persengketaan.
6.                  Tambahan Claim dan Defence
Tahap proses selanjutnya, memberi kesempatan kepada para pihak untuk menambah penjelasan atas gugat dan sekaligus sebagai jawaban terhadap bantahan respondent untuk mengajukan tambahan bantahan. Dalam proses pemeriksaan pengadilan, tahap ini disebut pengajuan “replik” dan “duplik”. Hal ini dalam proses pemeriksaan arbitrase pada umumnya disebut tahap amandement or supplement of claim or defence. Bisa juga disebut additional statement of claim dan additional statement of defence. Pihak claimant dapat mengajukan amandemen atau tambahan atas bantahan. Baik amandemen atau tambahan jawaban diajukan dalam bentuk tertulis.
7.                  Audi Et Alteram Partem
Suatu asas yang perlu ditegakkan dalam tahap proses pemberian kesempatan jawab-menjawab, ialah asas audi et alteram partem dalam arti yang luas atau to give the same opportunity to each party. Artinya memberi kesempatan dan perlakuan yang sama kepada para pihak untuk mengajukan dan mempertahankan hak, dan kepentingannya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (1) UNCITRAL Arbitration Rules. Asas ini memang berlaku untuk setiap tahap proses pemeriksaan. Dengan demikian, asas tersebut berlaku sepenuhnya pada pemberian kesempatan mengajukan amandemen atau tambahan tuntutan dan pembelaan. Kesempatan yang diberikan kepada claimant harus seimbang kapasitasnya dengan yang diberikan kepada respondent[5].
             



[1]M. Yahya Harahab, S.H, Arbitrase, (Jakarta : Sinar Grafika, 2001), 157
[2] Rahmat Rosyadi dan Ngatino, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2002), 83
[3] M. Yahya Harahab, S.H, Arbitrase, 158
[4] Rahmat Rosyadi dan Ngatino, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2002), 84
[5] M. Yahya Harahab, S.H, Arbitrase, 188

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aqurius 6 okt 2012

ADR (Alernative Dispute Resolution)

ADR (Alernative Dispute Resolution)