ILMU JARH WA TA’DIL

ILMU JARH WA TA’DIL
(Mencatat dan mengadilkan rawi)



A. Definisi

Lafadz “jarh”, menurut muhadditsin ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan kedhabitanya. Men-jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkan nya.

Men-ta’dil seorang rawi berarti memberikan sifat-sifat terpuji kepada seorang rawi hingga apa yang diriwayatkanya dapat diterima . Rawi yang dikatakan adil adalah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan keperwiraannya.

Apabila seorang rawi dijarh oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, maka periwayatannya diterima selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits dipenuhi.

Ilmu jarh wa ta’dil berarti ilmu yang membahas tentang kritik adanya aib (cacat) atau memberikan pujian pujian adil kepda seorang rawi.

Dr. 'Ajjaj al-Khathib mendefinisikannya sebagai berikut :

هُوَ الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِي أَحْوَالِ الرُّوَاةِ مِنْ حَيْثُ قَبُوْلِ رِوَايَتِهِمْ أَوْ رَدِّهَا

Adalah suatu ilmu yang membahas perihal para rawi dari segi-segi diterima atau ditolak periwayatannya


B. Faidah Ilmu Jarh wa Ta’dil

Faedah mengetahui ilmu Jarh wa Ta’dil ialah untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabilah seorang rawi sudah di tarjih sebagai rawi yang cacat maka periwayatanya ditolak dan apabilah seorang rawi dita’dil sebagi orang yang adil maka periwayatanya diterima, selama memenuhi syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits dipenuhi.

- Macam-macam kecacatan Rawi

Cacat (keaiban) rawi itu banyak. Akan tetapi umumnya berkisar pada 5 macam, yaitu :

1. Bid’ah (melakukan tindakan tercela, diluar ketentuan Syara’)

Rawi yang disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang-orang yang di anggap kafir dan adakalanya tergolong orang yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafidhah yang mempercayai bahwa Tuhan itu menyusup (bersatu) pada sayyidina ‘Ali dan pada imam-imam yang lain , dan mempercayai bahwa Ali akan kembali lagi ke dunia sebelum hari kiamat.

Sedangkan orang-orang yang dianggap fasiq ialah orang yang mempunyai I’tikad bertentangan dengan dasar syari’at.

2. Mukhalafah (meriwayatkan hadits yang berbeda dengan periwayatan rawi yang lebih tsiqah).

Apabila rawi yang bagus ingatannya dan jujur meriwayatkan suatu hadits yang berlawanan maknanya dengan orang yang lebih kuat ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan orang, yang kedua periwayatan tersebut tidak dapat disatukan/digabungkan maknanya. Periwayatan demikian disebut "Syadz", dan kalau perlawanan itu berkesangatan atau rawinya lemah sekali hapalannya, periwayatannya disebut "Munkar".

3. Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatannya)


Ghalath (slaah) itu kadang-kadnag banyak dan kadang-kadnag sedikit. Seorang rawi yang disifati banyak kesalahan dalam riwayatanya maka hendaknya diadakan peninjauan kembali terhadap hadits-hadits yang telah diriwayatkannya, akan tetapi jika periwayatnya tadi juga terdapat dalam periwatan rawi yang disifati dengan ghalath, maka haditsnya tsb dapat di pakai melalui sanad hadits kedua ini tapi apabila tidak ada maka haditsnya di tawaqufkan.

4. Jahalatul hal (tidak dikenal identitasnya)

Jahalatul hal merupakan pantangan untuk diterimanya haditsnya, selama belum jelas identitas rawinya. Apabila sebagian orang telah mengenal identitasnya dengan baik, kemudian ada yang mengingkarinya, dalam hal ini didahulukan penetapan orang yang telah mengenalnya, sebab tentu ia lebih tahu dari orang yang mengingkarinya.

5. Da’wal inqitha’ (diduga keras sanadnya terputus)

Misalnya menuduh rawi men-tadlis-kan atau meng-irsal-kan suatu hadits.


- Jalan-jalan untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi dan masalah-masalahnya

Keadilan seorang rawi daat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan berikut :

a.
Bi-Syuhrah, karena kepopulerannya di kalangan ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil. Seperti: Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’I, Ahmad dan lain sebagainya. Mereka yang sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan keadilannya.

b. [b]Pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah). Yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil, yang semula rawi yang dita'dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil. Begitupun kebalikannya dengan jarh.

1. Syarat-syarat bagi penta’dil (mu’addil) dan pentarjih (jarih)

a) Berilmu pengetahuan
b) Takwa
c) Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, doea kecil, dan makruhat)
d) Jujur
e) Menjauhi fanatik glongan
f) Mengetahui sebab-sebab menta’dil dan dan mentajrih. (Mufassar)

2. Dapatkan pen-ta’dil-an dan pen-tajrih-an seseorang tanpa menyebutkan sebab-sebabnya

Disini terdapat perselisihan pendapat tapi yang dianut oleh para muhadditsin seperti Bukhari Muslim, Abu Dawud, dll adalah bahwa Menta’dil tanpa menyebutkan sebab-sebabnya itu boleh karena sebab-sebanya itu banyak sekali dan jika disebutkan bisa menyibukkan kerja saja tapi kalau dalam hal tajrih tidak boleh kerena setiap pentarjih mempunyai sebab-sebab yang berbeda-beda, padahal jarh dapat berhasil dengan satu sebab, maka perlu diterangkan cacat seorang rawi.

3. Jumlah orang yang di pandang cukup untuk menta’dil dan mentarjih rawi-rawi

Dalam hal ini terdapat perselisihan pendapat :

a) Pedapat fuqoha’ Madinah minimal 2 orang baik dalam syahadah maupun riwayah

b) Cukup 1 orang dalam riwayah dan bukan dalam soal syahadah, sebab bilangan tidak jadi syarat dalam penerimaan hadits.

c) Cukup 1 orang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.


4. Pertentangan antara Jarh dan Ta’dil

Apabila terjadi pertentangan antara jarh dan ta'dil pada seraong rawi, dimana sebagian ulama’ menta’dil dan sebagian yang lain mentakhrij maka dalam hal ini terdapat ada 4 pendapat :

i. Jarhi harus didahulukan secara mutlak walau jumlah mu’addil lebih banyak dari pada jarhnya.

Sebab bagi rajih tentu lebih mengetahui tentang sisi batin dari rawi daripada mu’addil. Pendapat ini dianut oleh Jumhur 'ulama.

ii. Ta’dil harus didahulukan dari jarh

Karena jarihh bisa salah dalam mencacatkan rawi apalagi kalau ada rasa benci maka pasti sebab pentarjihanya bersifat subyektif berbeda dengan mu’addil dalam menilai rawi mereka lebih mendahulukan kelogisan atau obyektif

iii. Bila jumlah mu’addilnya lebih banyak dari rajih maka didahulukan ta’dil

Karena jumlah yang banyak memperkuat kedudukan mereka

iv. Masih tetap dalam pertentangan selama belum ditentukan yang menjarhnya.

Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khilaf ini ialah jika jumlah mu'adiil lebih banyak dari jarih, tetapi kalau jumlahnya seimbang atau lebih sedikit antara mu'addil dan jarih, maka didaulukan jarh, dan ini merupaka putusan 'ijma.


5. Susunan lafadz-lafadz untuk menta’dil dan mentarjih rawi

Ibnu Hajar menyusun ke dalam 6 tingkatan, yaitu

1) Berbentuk af’alut tafdhil atau ungkapan lain yang setara maknanya dengan af’alut tafdhil.

Contoh :

أوثق الناس (Orang yang paling tsiqah)

أثبت الناس حفظا وعدالة (orang yang paling mantap hafalan dan keadilanya)

إليه المنتهي فى الثبت (orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya)

ثقة فوق الثقة (orang yang tsiqoh melebihi orang yang tsiqoh)


2) Berbentuk pengulangan lafadz yang sama atau dalam maknanya saja

Contoh:

ثبت ثبت (Orang yang teguh lagi teguh)

ثقة ثقة (orang yang tsiqah lagi tsiqah)

حجة حجة (orang yang ahli lagi petah lidahnya)

ثبة ثقة (orang yang teguh lagi tsiqah)

حافظ حجة (orang yang hafidz lagi petah lidahnya)

ضابط متقن (orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya )


3) Menggunakan Lafadz yang mengandung arti kuat ingatan

Contoh:

ثبت (orang yang teguh hati dan lidahnya )

متقن (orang yang meyakinkan ilmunya)

ثقة (orang yang tsiqoh)

حافظ (orang yang kuat hafalanya)

حجة (orang yang petah lidahnya)


4) Menggunakan Lafadz yang tidak menggunakan arti kuat ingatan dan adil Contoh:

صدوق (orang yang sangat jujur)

مأمون (orang yang dapat memegang amanat)

لابأس به (orang yang tidak cacat)


5) Menggunakan lafadz yang menunjukkan kejujuran rawi tanpa ada kedhabitn

Contoh:

محله الصدق (orang yang berstatus jujur)

جيد الحديث (orang yang baik haditsnya)

حسن الحديث (orang yang bagus haditsnya)

مقارب الحديث (orang yang haditsnya berdekatan dengan hadits-hadits orang lain yang tsiqoh)


6) Menggunakan lafadz yang menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat diatas yang diikuti kafadz “inssaAllah”, atau ditashghitkan, atau lafadz tersebut dikaitkan dengan pengharapan .

Contoh:

صدوق إن شاءالله (orang yang jujur, jika Allah menghendaki)

فلان أرجوا بأن لابأس به (orang yang diharapkan tsiqah)

فلان صويلح (orang yang shalih)

فلان مقبول حديثه (orang yang diterima haditsnya)


Untuk mentajrih hadits ada 6 tingkatan lafadz yang digunakan :

1) Menggunakan lafadz –lafadz af’alut tafdhil atau ungkapan-ungkapan lain yang serupa denganya menunjukkan amat cacatnya rawi.

Contoh:

أوضع الناس (orang yang paling dusta)

أكذب الناس (orang yang paling bohong)

إليه المنتهى فى الوضع (orang yang paling top kebohonganya)


2) Menggunakan lafadz –lafadz sighot mubalaghoh menunjukkan amat cacatnya rawi.

Contoh:

كذاب (orang yang pembohong)

وضاع (orang yang pendusta)

دجال (orang yang penipu)


3) Menunjukkan tuduhan dusta, bohong atau yang lainya

Contoh:

فلان متهم بالكذل (orang yang dituduh bohong)

أو متهم بالوضع (orang yang dituduh dusta)

فلان فيه النظر (orang yang perlu diteliti)

فلان ساقط (orang yang gugur)

فلان ذاهب الحديث (orang yang hadtsnya telah hilang)

فلان متروك الحديث (orang yang ditinggal haditsnya)


4) Menunjukkan amat lemahnya rowi

Contoh:

مطرح الحديث (orang yang dilempar haditsnya)

فلان ضعيف (orang yang lemah)

فلان مردود الحديث (orang yang ditolak hadtsnya)


5) Menunjukkan kacaunya hafalan rawi

Contoh:

فلان لايحتج به (orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadtsnya)

فلان مجهول (orang yang tidak dikenal identitasnya)

فلان منكر الحديث (orang yang munkar haditsnya)

فلان مضطرب الحديث (orang yang kacau haditsnya)

فلان واه (orang yang banyak menduga-duga)


6) Menggunakan lafadz-lafadz yang dekat dengan sifat adil tapi menunjukkan kelemahanya.

Contoh:

ضعف حديثه (orang yang didho’ifkan haditsnya)

فلان مقال فيه (orang yang diperbincangkan)

فلان فيه خلف (orang yang disingkiri)

فلان لين (orang yang lunak)

فلان ليس با لحجة (orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya)

[size]
فلان ليس با لقوى[/size] (orang yang tidak kuat)


C. Kitab-kitab ilmu Jarh wa Ta’dil

1. Ma’rifatur rijal, karya Yahya Ibni Ma’in, merupakan kitab pertama yang sampai pada kita, juz I buku tersebut berupa manuskrip ( tulisan tangan) berada di Darul Kutub Adh-Dhahiriyah

2. Ad-Dhu’afa’, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhpri . Dicetak di Hindia tahun 320 H

3. At-Tsiqat, karya Abu Hatim bin Hibban Al-Busty (wafat tahun 304 H). Ingat bahwa beliau ini sangat muda menta’dil rawi jadi hati-hati atas pendapatnya. Naskah asli kitab ini ditemukan di Darul Kutub Al-Mishriyah dengan tidak lengkap.

4. Al-jarhu wa ta’dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razy (240-326 H), kitab ini merupakan kitab yang terbesar dan mempunyai banyak faidah bagi kita. Terdiri dari 4 jilid yang memuat 18.055 rawi, sering di setak berkali-kali dan terakhir dicetak di India pada tahun 1373 H menjadi 9 jilid, 1 jilid I dijadikan mukaddimah dan jilid yang lainya dijadikan 2.

5. Mizanul I’tidad, karya Imam Syamsuddin Muhammad Ad-Dzahabi (673-748), terdi dari 3 jilid, sudah dicetak berkali-kali dan terakhir dicetak di Mesir tahun 1325 H mencakup 10.907oran rijalus sanad.

6. Lisanul Mizan, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalany (773-852 H) memuat 14.343 rijalus sanad, dicetak di India pada th 1329-1331 dalam 6 jilid.

--------
Dikutip dari : Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Drs. Fatchur Rahman, "PT. AlMa'arif Bandung", Bab IV, hal. 307 dengan peringkasan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

aqurius 6 okt 2012

ADR (Alernative Dispute Resolution)

ADR (Alernative Dispute Resolution)